Ilustrasi


Hari ini Mimo gelisah sekali. Dia kelihatan murung, kusut seperti baju yang tidak pernah mencium setrika berminggu-minggu. Bukan karena hasil ulangannya yang pas-pasan. Soal itu, dia tidak pernah kecewa, enjoy saja. Bukan pula karena Rara, teman sekelasnya yang selalu cuek kepadanya.
Padahal, dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk pedekate sama cewek pintar itu. Tapi, tetap saja dicuekin. Bukan juga karena uang sakunya tipis. Kantongnya selalu tebal. Sayang, manajemen keuangannya amburadul.
Lalu, apa yang membuat dia sampai keki setengah mati seperti itu? Pasti ada sesuatu. Ternyata yang membuat dia kelimpungan sampai kering seperti itu adalah ponselnya yang butut. Dia malu kepada teman-temannya yang semuanya anak orang tajir. Dia merasa dijauhi. Padahal, dia sendiri yang menjauh dari mereka.
Memang, ponsel teman-temannya bagus-bagus. Semuanya berlevel high end. Berfitur canggih, kamera, flash, media player, memori besar, komplet. Semua ada. Sedangkan ponsel Mimo, fiturnya itu-itu saja. Game-nya ular-ularan, layar monokrom, yang itu saja sudah buram. Apalagi, baterainya suka drop. Tak heran dia sering uring-uringan gara-gara ponsel yang seharusnya masuk museum itu.
Ironis sekali. Mimo anak orang berada yang levelnya menengah ke atas. Dua mobil mewah selalu menghiasi garasi rumahnya yang megah bak keraton itu. Tapi, giliran urusan ponsel, dia tidak ada apa-apanya dibanding teman-teman. Sudah berkali-kali Mimo komplain kepada papanya perihal ponsel butut itu. Dia minta dibelikan ponsel baru. Tetapi, papanya selalu menolak. “Buat apa kamu ingin ponsel baru? Kan yang itu masih bisa digunakan,” kata papanya. “Lagian, kamu masih SMA. Yang penting masih bisa telepon dan SMS. Sebaiknya, sisihkan sedikit uang jajan kamu. Papa memberi uang jajan lebih dari cukup,” lanjut sang papa.
Papanya juga memberikan tawaran bagus. Jika Mimo bisa ranking pertama di kelas atau minimal tiga besar, papanya janji akan membelikan ponsel baru. Mimo kaget setengah mati mendengar syarat papanya. Bagi dia, itu adalah syarat yang berat, sangat berat malah. Masuk tiga besar nilai terbaik di kelas adalah pekerjaan yang tidak mudah. Jangankan tiga besar, apalagi ranking pertama, masuk sepuluh besar saja belum pernah dirasakan.
Mimo tahu siapa dirinya, bagaimana sepak terjang dan kiprahnya di kelas mengenai pelajaran. Dia memang ganteng, keren, dan tajir. Tapi, soal otak, dia tidak encer-encer amat. Dia mengakui hal itu. Dia masih kalah jauh dengan Hadi, teman sekelasnya yang jago MIPA. Apalagi dengan Rara, cewek yang selalu diimpikan, tapi tak pernah ditanggapi. Mimo kalah jauh. Jauh sekali.
“Ah, papa payah! Tega banget sama anak sendiri!” sergah Mimo sambil ngeloyor pergi ke kamarnya di lantai atas. Mimo kesal sekali. Dia terlihat begitu menderita. Harus masuk tiga besar nilai terbaik di kelas, itu alamat kalau dia tidak bakalan mempunyai ponsel baru.
Mimo semakin kesal. Kalau sudah begini, biasanya dia akan membenamkan diri dalam-dalam di bawah bantal dan selimut yang tebal. Inilah nilai plus Mimo. Meskipun anak orang kaya, dia termasuk anak yang jinak. Tak suka hura-hura. Kalau lagi suntuk begini, dia lebih suka menyendiri di kamar.

***

“Tit… Tit… Tit…” Tengah malam ponsel Mimo berdering. Dia terkejut oleh vibrasinya. Meski butut, tanda getarnya masih berfungsi baik. Dengan masih setengah tidur, dia mengambil ponsel yang ternyata tertindih badan itu. Layarnya yang berwarna kuning pudar itu menyala. Tak ada pesan diterima ataupun missed call. Aneh. “Lalu, kenapa berdering? Apa aku bermimpi?” pikir Mimo.
mengucek-kucek mata, Mimo kembali pelototi ponselnya. Kali ini dengan kesadaran penuh. Tapi, masih dengan posisi telentang. Benar, memang tak ada pesan diterima ataupun missed call. Tetapi, dia menemukan suatu hal aneh. Ada tulisan terpampang di layar ponsel. Jelas itu bukan pesan dari teman. Sebab, tulisan itu terletak di standby mode. Dia yakin tulisan itulah yang membuat ponselnya berdering.
Welcome to your new phone system! Begitulah tulisan itu tereja. Ukuran font-nya kecil, tercetak miring dengan model huruf digital. Persis seperti model huruf pada kalkulator, tapi lebih kecil. Tulisan itu terus berkedip.
Mimo tahu betul apa arti tulisan itu. Tetapi, dia tidak paham apa yang dimaksud. Yang membuat lebih heran, layar ponselnya jadi bersih dari tulisan lain. Tak ada tulisan, kecuali tulisan itu. Tak ada logo operator dan jaringan otomatis. Indikator kekuatan sinyal dan level pengisian baterai juga tak tampak. Modus standby ponselnya hanya terisi tulisan itu. Aneh.
Belum hilang rasa heran, tangan Mimo serasa tertarik menekan tombol option. “Tuts,” terdengar ibu jarinya menekan tombol. Tiba-tiba TV berukuran home theater di hadapannya menyala. Menyuguhkan film action yang dibintangi Jean Claude van Damme. Dia terkejut sehingga yang tadi telentang sekarang menjadi terduduk. “Apa lagi ini?” tanpa sadar mulutnya bergumam sendiri. Dia yang masih melongo antara terkejut dan heran mengalihkan pandangan dari TV ke ponsel yang dipegang. Tulisan di ponsel berubah. Namun, tetap dengan ukuran font dan huruf seperti tadi. Congratulations!
Mimo semakin heran. Dia merasa seperti terbang di dunia lain. Entah di mana. Dia bertanya-tanya dalam hati. Mengapa TV menyala sendiri setelah menekan salah satu tombol di ponselnya? Apa dia bisa mengoperasikan TV dengan ponsel? Apa itu yang dimaksud new phone system?
Mimo masih belum tahu jawabannya. Tapi, dia semakin tertarik untuk menekan tombol-tombol di ponselnya. Dia menekan angka 2 pada tuts ponsel. Benar, tiba-tiba channel TV-nya berubah menjadi channel 2 yang menampilkan acara sepak bola. Sebenarnya, dia adalah maniak bola sejati. Tapi, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menikmati bola. Dia masih penasaran dengan ponsel “baru” itu. Ternyata memang benar, ponselnya bisa menjadi remote TV.
Dia biarkan TV menyala. Rasa penasarannya begitu besar. Iseng-iseng dia kembali menekan tombol options. Kali ini diarahkan ke AC yang terpasang di dinding tepat di atas TV. “Tiit. Brrrrr….” AC seketika menyala dan menyemburkan udara dingin ke seluruh ruang. Mimo semakin bersemangat. Tape recorder besar berukuran 900 watt pun tak luput dari eksperimen dadakannya. Diputarnya tape itu keras-keras dengan lagu-lagu beraliran rock kesukaannya.
Mimo menyeringai puas. Tapi, itu belum cukup. Dia masih bersemangat untuk mencoba. Bukan hanya barang-barang elektronik, tapi semua barang bisa dikendalikan. Kini giliran lampu belajar. “Tuts” Seketika lampu belajarnya melayang, membentur tembok, dan hancur. Lampu gantung yang terkait di atas kamar tidurnya mengalami hal serupa. Tapi, dengan modus berbeda.
Bola kaki yang dari tadi diam di atas lemari menjadi instrumen membombardir lampu gantung itu. Sekali tekan tombol, bola kaki yang berada dalam jarak empat meter darinya itu seketika bereaksi. Menggelinding, jatuh ke lantai, memantul, dan akhirnya terbang menghantam lampu gantung hingga hancur berantakan. Mimo tertawa puas sambil memicingkan mata.
Masih ada barang-barang lain yang belum dicoba. Komputer, printer, scanner, dan seperangkat alat lain masih tegak berdiri. Tapi, kali ini Mimo ragu melanjutkan aksinya. Sayang kalau komputer mahal itu menerima nasib seperti pendahulunya.
Akhirnya dia menyudahi petualangan gila itu. Hasilnya sungguh luar biasa. Kamar luas nan mewah berukuran 6×5 meter itu berhasil disulap menjadi laboratorium eksperimen. Beberapa barang menjadi kelinci percobaan. Bekasnya berserakan di mana-mana. Lampu gantung, lampu belajar, hancur berantakan di lantai. Kertas-kertas berserakan. AC, TV, dan tape recorder masih menyala. Tapi, suaranya kacau. Kamar mewah itu kini tak ubahnya seperti kapal pecah.
Ditulis oleh M. Syaifudin Alumni IAIN Sunan Ampel Surabaya dan sekarang aktif di Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal Kunir Blitar